
Pelecehan seksual di tempat kerja bukanlah isu baru, sering kali ia dianggap “biasa saja”, diremehkan, atau bahkan dijadikan bahan candaan. Banyak orang memilih diam, entah karena takut kehilangan pekerjaan, merasa tidak akan dipercaya, atau karena budaya kantor yang permisif terhadap perilaku menyimpang. Padahal, normalisasi terhadap pelecehan justru memperkuat siklus ketidakadilan dan membuat korban semakin terpinggirkan.
Bentuk Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual di tempat kerja bisa muncul dalam berbagai bentuk dan kadang justru terselip dalam hal-hal yang dianggap “normal”. Banyak orang tak sadar bahwa mereka sedang mengalami atau menyaksikan pelecehan, karena bentuknya bisa sangat halus, tersamar, atau terjadi di balik layar. Padahal, pelecehan bukan cuma soal sentuhan fisik, tapi juga bisa lewat kata-kata, gestur, atau bahkan chat di jam kerja.
1. Pelecehan Verbal
Pelecehan verbal terjadi melalui ucapan, komentar, atau candaan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan. Misalnya, komentar tentang tubuh atau penampilan seseorang, lelucon berbau seksisme, pertanyaan pribadi yang menjurus ke arah seksual, atau panggilan bernada melecehkan seperti “sayang” atau “seksi” di lingkungan profesional. Meskipun sering dibungkus dengan dalih bercanda, dampaknya bisa sangat mengganggu dan membuat korban merasa tidak nyaman bahkan terintimidasi.
2. Pelecehan Non Verbal
Jenis pelecehan ini lebih halus tapi tetap meresahkan. Contohnya bisa berupa tatapan yang tidak pantas, ekspresi wajah yang menjurus, gerakan tubuh yang sugestif, atau memperlihatkan materi pornografi secara sengaja. Meskipun tidak melibatkan kata-kata, pelecehan non verbal tetap menciptakan rasa tidak aman dan membuat suasana kerja jadi tidak nyaman, terutama jika terjadi berulang atau dilakukan dengan sengaja.
3. Pelecehan Fisik
Pelecehan fisik adalah bentuk yang paling nyata dan sering kali paling jelas batasannya. Ini termasuk sentuhan yang tidak diinginkan seperti meraba, memeluk, mencium, menyentuh bagian tubuh tertentu, atau mendekat secara fisik dengan cara yang mengintimidasi. Tindakan ini tidak hanya melanggar ruang pribadi seseorang, tetapi juga bisa masuk ke ranah pidana jika sudah melewati batas yang ditentukan hukum.
4. Pelecehan Digital
Di era kerja hybrid dan digital seperti sekarang, pelecehan juga bisa terjadi secara online. Ini bisa berupa kiriman pesan yang bernada seksual, gambar tidak senonoh, komentar di media sosial pribadi rekan kerja, atau panggilan video yang digunakan untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas. Pelecehan digital sering kali sulit dibuktikan karena terjadi di ruang privat seperti chat pribadi, tapi bukan berarti bisa dianggap remeh.
Fakto Pemicu Pelecahan Seksual di Kantor

Pelecehan seksual di tempat kerja nggak terjadi begitu saja. Di balik setiap kasus, selalu ada faktor-faktor yang memungkinkan perilaku itu muncul dan dibiarkan terus berulang. Setelah memahami berbagai bentuk pelecehan, penting juga untuk melihat lebih dalam: apa yang sebenarnya membuat pelecehan seksual bisa tumbuh subur di lingkungan kerja? Kenapa pelaku merasa bisa bertindak seenaknya, dan kenapa banyak korban memilih diam? Jawabannya sering kali berkaitan dengan struktur, budaya, dan kebijakan yang ada di tempat kerja itu sendiri. Tanpa perubahan mendasar pada sistem yang menaunginya, upaya mencegah pelecehan hanya akan jadi wacana kosong.
Baca Juga: Gerakan Anti Bullying untuk Bangun Budaya Kantor yang Sehat
1. Ketimpangan Kekuasaan
Salah satu pemicu utama pelecehan seksual di kantor adalah adanya ketimpangan kekuasaan, seperti antara atasan dan bawahan. Posisi yang tidak setara ini sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk bertindak semena-mena, karena mereka merasa punya kendali atas karier, gaji, atau penilaian kinerja korban. Dalam banyak kasus, korban merasa terjebak dan takut bicara karena khawatir akan kehilangan pekerjaan atau dibalas secara profesional.
2. Kurangnya Edukasi
Masih banyak orang yang belum benar-benar paham apa itu pelecehan seksual, seperti batas antara candaan dan perilaku yang melecehkan. Tanpa edukasi yang jelas dan menyeluruh, pelaku bisa berdalih bahwa mereka “tidak tahu” atau “tidak bermaksud demikian”. Sementara itu, korban pun sering merasa bingung apakah yang mereka alami layak dilaporkan atau hanya “baper” belaka.
3. Budaya Kantor Permisif dan Patriarki
Lingkungan kerja yang permisif terhadap perilaku tidak pantas, atau yang masih kuat dipengaruhi budaya patriarkal, juga jadi pemicu pelecehan. Candaan seksis dianggap biasa, komentar fisik jadi obrolan sehari-hari, dan keberanian korban untuk bersuara sering malah dicibir. Dalam budaya seperti ini, pelaku merasa aman karena tahu bahwa tindakan mereka tidak akan dipermasalahkan secara serius.
4. Lemahnya Kebijakan Internal
Banyak perusahaan belum memiliki aturan yang jelas atau mekanisme pelaporan yang aman dan berpihak pada korban. Kalaupun ada, sering kali sistem tersebut hanya formalitas tanpa implementasi nyata. Akibatnya, korban enggan melapor karena khawatir laporan tidak ditindaklanjuti, atau malah dibungkam. Ketika kebijakan lemah, pelecehan pun jadi sulit dicegah, apalagi diberi sanksi tegas.
Perlindungan dan Penanggulangan Pelecehan Seksual

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang benar-benar aman dan sehat, perlindungan dan penanggulangan pelecehan seksual harus menjadi prioritas nyata. Pencegahan dimulai dari membangun budaya kantor yang saling menghormati, terbuka, dan bebas dari ketakutan. Hal ini bukan tugas satu orang atau satu divisi saja, tapi tanggung jawab bersama yang harus ditanamkan sejak awal, mulai dari proses onboarding hingga ke jenjang manajerial.
Salah satu langkah penting dalam upaya pencegahan adalah memiliki kebijakan perusahaan yang jelas, tegas, dan mudah diakses oleh seluruh karyawan. Kebijakan ini harus mencakup definisi pelecehan seksual, mekanisme pelaporan, hingga sanksi bagi pelaku. Rasa aman dalam melapor adalah kunci agar korban berani bersuara. Penanganan laporan pun harus dilakukan dengan cepat, adil, dan berpihak pada korban, tanpa mengabaikan prinsip objektivitas.
Di RECTMedia, kami memahami pentingnya hal ini dan berusaha menerapkan sistem perlindungan dari pelecehan seksual di lingkungan kerja kami. Mulai dari internal policy yang jelas, pelatihan bagi karyawan, hingga kanal pelaporan yang dapat diakses secara aman dan rahasia. Tujuan kami sederhana tapi penting: menciptakan ruang kerja yang sehat, suportif, dan bebas dari rasa takut. Harapannya, setiap orang di RECTMedia bisa bekerja dengan nyaman, berkembang maksimal, dan tahu bahwa mereka didukung sepenuhnya untuk menjadi versi terbaik dari dirinya tanpa harus mengorbankan rasa aman dan martabat.